Sunday 14 May 2017

5 KASUS CYBERCRIME DAN CYBERLAW

Standard


Nama Kelompok :
1. Wike Triana N (11141072)
2. Nita Aulianisa (11141900)
3. Retno Dwi I (11141541)
4. Juliani Sapitri (11140772)
5. Alvi Nur R (11141881)

Postingan kali ini bertujuan buat tugas kelompok mata kuliah Etika Profesi, langsung aja ini dia 5 contoh kasus cybercrime beserta dengan hukum-hukumnya.



1. Tiket.com, Citilink (Sultan Haikal)
Kasus ini terjadi di penghujung tahun 2016 lalu, tapi pelakunya baru ditangkap sekitar awal tahun 2017. Sultan Haikal, 19 tahun menjadi pelaku utama di kasus ini, dia sudah meretas lebih dari 4.000 situs baik dalam maupun luar negeri, termasuk situs Gojek dan Polri. Sebenarnya Sultan Haikal dalam meretas akan memanfaatkan korbannya, dengan cara menghubungi pemilik situs dan menawarkan kerjasama untuk peningkatan keamanan situsnya. Dari situlah Haikal mendapatkan banyak keuntungan dari situs-situs tersebut. 

Pada kasus Citilink ini, Haikal juga melakukan hal yang sama. Saat berhasil meretas situs tiket.com dengan mendapatkan username dan password untuk masuk ke server citilink, Haikal menghubungi pihak situs tiket.com untuk menawarkan kerjasama, tetapi tidak digubris oleh pihak tiket.com. Hingga akhirnya Haikal kesal dan melakukan peretasan tersebut. 

Dalam melakukan aksinya Haikal tidak sendirian, dia dibantu dengan 3 orang temannya dengan inisial MKU (19), AI(19), dan NTM(27). Disini Haikal bertugas untuk membukakan akses masuk kedalam server yang kemudian diserahkan kepada teman-temannya. MKU dan NTM bertugas menawarkan dan menjual tiket pesawat, kemudian AI bertugas menginput data permintaan tiket pesawat Citilink dari pembeli ke aplikasi jual beli tiket online Citilink. Mereka menjual tiket tersebut dengan potongan harga ataupun diskon 30%-40%, sehingga mereka dapat meraup keuntungan sekitar 1 miliar rupiah.

Pihak tiket.com, yang dibobol selama 2 minggu menderita kerugian sebesar Rp1,9 miliar. Kerugian itu belum termasuk yang diderita maskapai Citilink. Kabarnya pelaku pembobol situs Tiket.com itu akan direkrut untuk membantu Polri dalam penegakan hukum kejahatan cyber. Meski begitu, Polri akan menyelesaikan dulu proses pidana terhadapnya.

Menurut Aturan mengenai peretasan di Indonesia diatur di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, atau UU ITE. Pada pasal 30 ayat 3 menyebutkan "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses computer dan/atau system elektronik dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol system pengaman (cracking, hacking, illegal access)" akan dihukum berdasarkan pasal 46 ayat 3 "Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)."

Pasal undang undang ITE pasal 46 terkorelasi dengan pasal 30 yang membahas tentang pelanggaran hak akses pada suatu media elektronik. Dijelaskan pada pasal 30 sesuai ayat masing – masing ( ayat 1, 2, dan 3 ) memiliki tinggkat pelanggaran yang berbeda. Jika ayat 1 hanya terbatas pada pengaksesan system tanpa izin, maka pada ayat berikutnya ditambahkan dengan melakukan tindak pencurian data dan atau informasi, dan untuk ayat 3 tentang mengakses system tanpa izin dengan melumpuhkan system pengamanannya serta mencuri datanya.

Sesuai dengan tingkat pelanggaran tersebut, konsekuensinya pun berbeda. Mulai dari hukuman penjara dan kemudian denda yang berbeda sesuai tingkat pelanggaran. Pasal 46 menekankan pada pelanggaran hak akses oleh seseorang tanpa izin dari pemilik system elektronik dimana terdapat informasi berharga. Kemudian ketika seseorang telah berhasil menerobos system elektronik seseorang, tentunya ia berkeinginan melihat data yang tersimpan, kemudian ingin menjadikannya sebagai hak milik peribadi (mencuri). Konsekuensi yang diterima oleh pelanggar pasal 30 dan pasal 46 kemungkinan akan terkena pasal berlapis, dengan hukuman yang berlapis pula.

2. Kasus Rush Money


AR (31) pengajar di SMK Jakarta Utara menjadi pelaku kasus rush money karena postingan fotonya di akun facebook dengan memberikan keterangan yang provokatif . Belakangan ini ramai beredar ajakan untuk melakukan penarikan uang secara besar-besaran (Rush Money) melalui media sosial. Gerakan tersebut muncul berkaitan dengan rencana aksi pada 25 November 2016 situasi perkara dugaan penistaan agama yang melibatkan Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaya Purnama 

Dalam posting-an tersebut, AR berbaring di tengah hamparan uang seolah-olah telah menarik uang dari bank. Dia juga memperlihatkan buku tabungannya. Foto tersebut diberi keterangan yang dianggap provokatif. "Aksi rush money mulai berjalan, ayo ambil uang kita dari bank milik komunis," 

Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta aparat penegak hukum segera menindak pelaku yang menyebarkan pesan hasutan untuk melakukan penarikan uang secara massal dari bank. Dia menegaskan, uang masyarakat yang disimpan di bank dijamin keamanannya sehingga masyarakat tidak perlu khawatir.

Sementara itu, untuk pengertian dari aksi Rush Money merupakan gerakan menarik uang yang ada di bank sebanyak – banyaknya untuk tujuan mengguncang perekonomian dari dalam negeri. Ini tujuannya untuk menjadi sebuah motiv lantaran kecewa terhadap pemerintah.
Atau bisa juga lantaran ada sejumlah pihak asing yang sengaja menyulutnya untuk menghancurkan kestabilan perekonomian suatu negara. Dampak dari Rush Money dalam hal ini dibagi menjadi tiga dampak yang penting.
  • Yang pertama adalah dampak ekonomi, dimana jika aksi ini dilakukan maka akan timbul kekacauan dalam sistem perbanka. Pihak bank akan mengalami kekurangan uang cash yang akan menyebabkan gejolak ekonomi.
  • Yang kedua adalah dampak sosial, dengan adanya bank yang sedang kacau maka akan timbul sejumlah keresahan yang ada di masyarakat. Hal ini akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pihak pemerintah khususnya Bank Indonesia.
  • Yang ketiga adalah politik, dimana dengan adanya gerakan Rush Money, maka para politik leader yang menjadi pendukung pemerintah bisa saja menarik konsensus untuk menarik dukungan pemerintah yang sah.
Jika Rush Money akan dilakukan maka bahaya yang timbul bahakan krisis yang terjadi di era 90an dapat terulang kembali.
Dari tersangka, polisi mengamankan sebuah telepon seluler dan beberapa kelengkapan barang pribadi yang sedang dalam pemeriksaan. Penyidik mempersangkakan AR atas pelanggaran Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pasal 28 ayat 2 UU ITE, Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), Pasal 45 ayat 2 UU ITE, setiap orang yang memenuhi unsur sebagimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana penjara paling lama 6(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 

Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE ialah dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA).
Sebenarnya, tujuan pasal ini adalah mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan, atau bahkan perpecahan yang didasarkan pada SARA akibat informasi negatif yang bersifat provokatif. Isu SARA dalam pandangan masyarakat merupakan isu yang cukup sensitif.

3. Kasus Florence Sihombing 


Florence Sihombing, perempuan berusia 26 tahun Mahasiswa S2 Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) yang menjadi terkenal karena menuliskan penghinaan terhadap kota Yogyakarta di Path. Kasus Florence bermula saat ia dilarang menyerobot antrean ketika hendak mengisi BBM pada hari Rabu, 27 Agustus2014, di SPBU Lempuyangan.Usai dilarang, Florence kemudian mengunggah status yang berisi penghinaan terhadap Yogyakarta dan membuat geram sejumlah masyakarat Yogyakarta. Florence pun ditahan di Polda DIY pada 30 Agustus 2014. Penahanannya ditangguhkan pada 1 September 2014.

Postingan Florence Sihombing di media sosial Path tersebut ternyata berbuntut panjang. Bukan saja mendapat kecaman dari dari berbagai orang, postingan pun menjalar ke ranah hukum. Setelah kasus pelaporan tersebut  menjalar ke ranah hukum. Pagi tadi pukul 10.30 WIB, Florence mendatangi Polda DIY untuk dimintai keterangan. Menurut pengacara Florence, Wibowo Malik, setelah empat jam diperiksa, Florence kemudian ditahan. Saat melakukan pertemuan dengan sejumlah komunitas yang melaporkan Florence ke Polda DIY atas umpatannya di media sosial, Sabtu (30/08), Florence kembali mengucapkan permintaan maaf atas tindakannya tersebut. Sebelumnya permintaan maaf Florence juga pernah  diungkapkannya secara langsung oleh Florence lewat televisi dan juga akun Path miliknya.

Setelah dilaporkan ke Polda DIY oleh sejumlah komunitas di Yogyakarta, Florence bersama pengacaranya, Wibowo Malik mendapatkan undangan untuk melakukan klarifikasi dan dipertemukan dengan pihak pelapor untuk melakukan upaya perdamaian. Sayangnya upaya tersebut gagal. Menurut Ryan Nugroho perwakilan dari Reptil RO Yogyakarta yang melaporkan Florence, upaya perdamaian tersebut ditolak karena mereka menilai Florence tidak melakukannya dengan tulus.

Pasal yang dijeratkan kepada mahasiswi Universitas Gadjah Mada itu adalah Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 1, dan Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang ITE. Pasal-pasal ini mengatur tentang penghinaan, pencemaran nama baik, dan penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa benci atau permusuhan individu atau kelompok. 

Bunyi Pasal 27 ayat 3 UU ITE "Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik"

Bunyi Pasal 45 ayat 1 UU ITE "Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dari Pasal 27 ayat (3) UU ITE dapat kita pahami bahwa cakupan pasal tersebut sangat luas. Mengenai, perbuatan memberikan taut (hyperlink) ke sebuah situs yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik juga dapat dijerat juga memenuhi unsur ketiga pasal tersebut. Karena itu mungkin dapat dipahami mengapa sebagian orang melihat pasal tersebut sebagai ancaman serius bagi pengguna internet pada umumnya.

4. Kasus Penipuan Lowongan Kerja 

Pada awal bulan Desember 2012 tersangka MUHAMMAD NURSIDI alias CIDING alias ANDY HERMANSYAH alias FIRMANSYAH bin MUHAMMAD NATSIR D melalui alamat website http://lowongan-kerja.tokobagus.com/hrd-rekrutment/lowongan-kerja-adaro-indonesia4669270.html mengiklankan lowongan pekerjaan yang isinya akan menerima karyawan dalam sejumlah posisi termasuk HRGA (Human Resource General Affairs) Foreman dengan menggunakan nama PT. ADARO INDONESIA.

  • Pada tanggal 22 Desember 2012 korban kemudian mengirim Surat Lamaran Kerja, BiodataDiri (CV) dan pas foto warna terbaru ke email hrd.adaro@gmail.com milik tersangka, setelah e-mail tersebut diterima oleh tersangka selanjutnya tersangka membalas e-mail tersebut dengan mengirimkan surat yang isinya panggilan seleksi rekruitmen karyawan yang seakan-akan benar jika surat panggilan tersebut berasal dari PT. ADARO INDONESIA, di dalam surat tersebut dicantumkan waktu tes, syarat-syarat yang harus dilaksanakan oleh korban tahapan dan jadwal seleksi dan juga nama-nama peserta yang berhak untuk mengikuti tes wawancara PT. ADARO INDONESIA, selain itu untuk konfirmasi korban diarahkan untuk menghubungi nomor HP. 085331541444 via SMS untuk konfirmasi kehadiran dengan format ADARO#NAMA#KOTA#HADIR/TIDAK dan dalam surat tersebut juga dilampirkan nama Travel yakni OXI TOUR & TRAVEL untuk melakukan reservasi pemesanan tiket serta mobilisasi (penjemputan peserta di bandara menuju ke tempat pelaksanaan kegiatan) dengan penanggung jawab FIRMANSYAH, Contact Person 082 341 055 575.
  • Selanjutnya korban kemudian menghubungi nomor HP. 082 341 055 575 dan diangkat oleh tersangka yang mengaku Lk.FIRMANSYAH selakukaryawan OXI TOUR & TRAVEL yang mengurus masalah tiket maupun mobilisasi (penjemputan peserta di bandara menuju ke tempat pelaksanaan kegiatan) PT. DARO INDONESIA telah bekerjasama dengan OXI TOUR & TRAVEL dalam hal transportasi terhadap peserta yang lulus seleksi penerimaan karyawan, korban pun kemudian mengirimkan nama lengkap untuk pemesanan tiket dan alamat email untuk menerima lembar tiket melalui SMS kenomor HP. 082 341 055 575 sesuai dengan yang diminta oleh tersangka, adapun alamat e-mail korban yakni lanarditenripakkua@gmail.com.
  • Setelah korban mengirim nama lengkap dan alamat email pribadi, korban kemudian mendapat balasan sms dari nomor yang sama yang berisi total biaya dan nomor rekening. Isi smsnya adalah “Total biaya pembayaran IDR 2.000.000,-silahkan transfer via BANK BNI no. rek:0272477663 a/n: MUHAMMAD FARID” selanjutnya korbanpun kemudian mentransfer uang sebesarRp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) untuk pembelian tiket
  • setelah mentransfer uang korban kembali menghubungi Lk.FIRMANSYAH untuk menanyakan kepastian pengiriman tiketnya, namun dijawab oleh tersangka jika kode aktivasi tiket hangus
Kasus penipuan lowongan kerja yang terjadi dengan mengatasnamakan PT. ADARO INDONESIA ini memiliki modus penipuan. Kasus kejahatan ini memiliki motif cybercrime sebagai tindakan murni kejahatan di dunia maya.Hal ini dikarenakan pihak penyelenggara dengan sengaja membuat suatu situs untuk menipu pembaca situs atau masyarakat. 
Karena cybercrime itu sendiri adalah istilah yang mengacu kepada aktivitas kejahatan dengan komputer atau jaringan komputer menjadi alat, sasaran atau tempat terjadinya kejahatan.Termasuk kedalam kejahatan dunia maya antara lain adalah pemipuan lelang secara online, pemalsuan cek, penipuan kartu kredit/carding, confidence fraud, penipuan identitas, pornografi anak, dll. 

Berikut ini rincian tentang undang-undang yang menjerat pelaku, adalah : 

1) Undang-Undang No. 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. 
Yang di dalamnya berisi : 
Pasal 28 ayat 1 tentang penyebaran berita bohong dan penghasutan melalui internet, Pasal 28 Ayat 1 berbunyi : 
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan mnyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik” 

2) Pasal 45 ayat 2 tentang pidana penjara dan denda terkait pasal penyebaran berita bohong dan penghasutan melalui internet dalam UU ITE, Pasal 45 ayat 2 berbunyi : 
“Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat(1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Kegiatan kejahatan ini memiliki modus penipuan.Kejahatan ini memiliki motif cybercrime sebagai tindakan murni kejahatan.Hal ini dikarenakan pihak penyelenggara dengan sengaja membuat suatu situs untuk menipu pembaca situs atau masyarakat.Kasus cybercrime ini dapat termasuk jenis illegal contents.Sasaran dari kasus kejahatan ini adalah cybercrime menyerang individu (against person).

5. Kasus Penyadapan Telepon SBY

Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta pemerintah agar menegakkan hukum terkait tuduhan penyadapan yang dialamatkan kepada dirinya. Tuduhan penyadapan ini terkait tudingan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan tim kuasa hukumnya, yang menyebut SBY memesan fatwa penodaan agama kepada Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin.

Dalam kacamata hukum, penyadapan dikemukakan dalam 2 (dua) pemaknaan.
  • Pemaknaan pertama adalah penyadapan yang tidak sah (unlawful interception). Pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, ditegaskan bahwa unlawful interception atau penyadapan yang tidak sah adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.
  • Pemaknaan kedua adalah penyadapan yang sah (lawful interception). Lawful interception adalah suatu cara penyadapan yg menempatkan posisi penyadap dalam penyelenggara jaringan telekomunikasi sedemikian rupa sehingga penyadapan tersebut memenuhi syarat tertentu yang dianggap sah dimata hukum. Tetapi tentu saja standar antar negara dalam perumusan syarat-syarat yuridis penyadapan tersebut sangatlah berbeda-beda.
Dalam kasus percakapan SBY dan Kyai Ma’ruf Amin yang terkuak dalam persidangan Ahok, penyadapan disini bisa dikatakan tidak sah (illegal) karena memenuhi kriteria penyadapan dalam pemaknaan yang pertama. 

Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta Badan Intelijen Negara (BIN) dan Polri bertanggung jawab atas percakapan telepon dirinya dengan Ketua MUI Kiai Ma'ruf Amin, yang menurutnya telah disadap. BIN membantah telah melakukan penyadapan tersebut.

Menyikapi isu penyadapan tersebut, Sundawan memberikan press release. Berikut ini press release yang disampaikan BIN melalui Sundawan kepada detikcom:

  • Bahwa pernyataan saudara Basuki Tjahaja Purnama dan penasihat hukumnya pada persidangan tanggal 31 Januari 2017 terkait adanya informasi tentang komunikasi antara KH Ma'ruf Amin dengan Bapak Dr H Susilo Bambang Yudhoyono tidak disebutkan secara tegas, apakah dalam bentuk komunikasi verbal secara langsung ataukah percakapan telepon yang diperoleh melalui penyadapan. 
  • Informasi tersebut menjadi tanggung jawab saudara Basuki Tjahaja Purnama dan penasihat hukum yang telah disampaikan kepada majelis hakim dalam proses persidangan tersebut
  • Bahwa saudara Basuki Tjahaja Purnama sudah menyampaikan permohonan maaf kepada KH Ma'ruf Amin dan sudah diterima serta dimaafkan oleh KH Ma'ruf Amin. Saudara Basuki Tjahaja Purnama juga telah melakukan klarifikasi bahwa informasi yang dijadikan sebagai bukti dalam persidangan, berita yang bersumber dari media online liputan6.com edisi tanggal 7 Oktober 2016
  • Berdasarkan UU No 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, BIN merupakan elemen utama dalam sistem keamanan nasional untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan NKRI.
  • Dalam menjalankan tugas, peran dan fungsinya, BIN diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, namun penyadapan yang dilakukan hanya untuk kepentingan penyelenggaraan fungsi intelijen dalam rangka menjaga keselamatan, keutuhan dan kedaulatan NKRI yang hasilnya tidak untuk dipublikasikan apalagi diberikan kepada pihak tertentu.
  • Melalui klarifikasi resmi ini, terkait informasi tentang adanya komunikasi antara Ketua MUI dengan Bapak Dr H Susilo Bambang Yudhoyono yang disampaikan oleh kuasa hukum Basuki Tjahaja Purnama dalam persidangan tanggal 31 Januari 2017, maka bersama ini BIN menegaskan bahwa informasi tersebut bukan berasal dari BIN.
Sebelumnya, SBY menyampaikan dirinya merasa yakin betul telah disadap, setelah namanya disebut-sebut dalam persidangan kasus dugaan penistaan agama, Selasa (31/1) lalu. Dalam sidang kasus dugaan penistaan agama di auditorium Kementerian Pertanian itu, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan kuasa hukumnya menanyakan soal percakapan Ketua MUI Ma'ruf Amin dengan SBY

Dari laman Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), tindakan penyadapan dijelaskan bahwa ketentuan Pasal 31 UU ITE mempunyai maksud:

Pertama, penegak hukum mempunyai kewenangan untuk melakukan penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum.

Kedua, penyadapan yang dilakukan harus berdasarkan permintaan dalam rangka penegakan hukum.

Ketiga, kewenangan penyadapan dan permintaan penyadapan dalam rangka penegakan hukum harus ditetapkan berdasarkan UU.

Melihat dari rumusan Pasal 31 UU ITE tentang larangan penyadapan atau intersepsi di atas, ini menunjukkan bahwa selain pihak yang berwenang dalam rangka penegakan hukum, dilarang melakukan penyadapan. Jika penyadapan tersebut dilakukan dengan melanggar hukum, tentu tidak dapat digunakan sebagai bukti dalam persidangan.

larangan penyadapan lain yang diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU ITE adalah sebagai berikut:
Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU ITE:
  • Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
  • Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
Sanksi atas Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU ITE adalah pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp800 juta (delapan ratus juta rupiah), sebagaimana diatur dalam Pasal 47 UU ITE.



Pages: 1 2 3 4